Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru
Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll.
Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan semakin merosotnya popularitas Presiden Yudhoyono. Survei terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia menunjukan bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26% dan 22%, dimana lebih dari 50% responden menyatakan Presiden tidak mampu. Sangatlah menarik untuk mencermati bahwa menurunnya popularitas Presiden dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ini kemudian dibaca oleh para politisi dan pengamat sebagai isyarat bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan perombakan kabinet secara radikal.
Adalah fakta bahwa memang sejumlah menteri tidak memiliki kinerja yang baik, namun adalah juga fakta bahwa tuntutan perombakan kabinet tidak terlepas dari skenario politik partai-partai besar. Posisi di kabinet, bagaimanapun juga memiliki arti strategis baik secara materil maupun politis dalam menuju kontestasi politik akbar tahun 2009 nanti. Karenanya selayaknya kita membaca kecendrungan hasil jajak pendapat tersebut dalam konteks yang lebih luas. Salah satu persoalan utama bangsa ini adalah kecendrungan untuk keliru mengidentifikasi hal yang substantif dan terjebak dalam perspektif instan. Budaya untuk memecahkan persoalan secara parsial dan temporer nampaknya menjadi arus besar di tengah masyarakat. Memang harus diakui bahwa rakyat membutuhkan keputusan politik yang tegas dan jelas, namun segala keputusan politik tersebut juga harus menyentuh substansi persoalan dan memberikan dampak jangka panjang. Demokratisasi dan perbaikan nasib bangsa secara menyeluruh akan terancam secara serius jika segala permasalahan keluar dari substansinya dan diatasi secara instan, apalagi jika dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis-politis.
Substansi dari hasil jajak pendapat jelas bukanlah tuntutan perombakan kabinet, namun meningkatnya ketidakpercayaan publik atas kemampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi utamanya untuk mensejahterakan rakyatnya. Berbagai bencana dan skandal yang terjadi akhir-akhir ini jelas mengindikasikan kelemahan mesin birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat yang bergerak cepat. Karenanya, merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah semestinya dimaknai dalam perspektif yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan keras bagi para politisi dan birokrat.bahwa proses reformasi di Indonesia ternyata belumlah sepenuhnya mengubah karakter birokrasi kita menjadi pelayan publik yang profesional. Demokratisasi akan kehilangan makna jika tanpa diiringi dengan komitmen para politisi dan pemimpin untuk membenahi birokrasi. Sebagian besar enerji para pemimpin dan politisi lebih banyak dicurahkan untuk isu-isu populis ketimbang agenda- agenda strategis jangka panjang. Padahal tidaklah mungkin agenda-agenda populis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dapat diimplementasikan tanpa disokong instrument birokrasi yang efektif.
Pembenahan birokrasi juga harus dipahami sebagai bagian dari proses untuk mengokohkan sistem presidensil. Adalah suatu ironi bahwa disatu sisi para politisi dan pengamat sepakat untuk memperkuat sistem presidensil, namun disisi lain mereka tetap melakukan manuver-manuver politik untuk menggerogoti kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Presiden Bagi para pendukungnya, hal utama yang menjadi kelebihan dari sistem presidensil adalah stabilitas politik karena periode kepemimpinan yang relatif lebih pasti dibanding sistem parlementer. Artinya, desakan untuk bongkar pasang kabinet secara rutin bukanlah karakter utama dari sistem presidensil. Ketika Presiden sebagai pemegang mandat rakyat harus tunduk pada tekanan-tekanan politik partai, maka sesungguhnya sistem presidensil telah kehilangan ciri utamanya.
Birokrasi semestinya tidak terkooptasi oleh jaringan patronase partai politik. Pengkotak-kotakan departemen atas pertimbangan perimbangan kekuasaan cenderung akan menjadikan birokrasi sebagai alat kepentingan politik. Namun demikian secara realitas politik, adalah hal yang mustahil bagi Presiden untuk menutup pintu kabinet secara total bagi politisi partai. Kombinasi antara sistem presidensil dan multipartai yang kini dianut oleh negara kita memang mendorong terjadinya koalisi partai sebagai penyokong pemerintahan. Karena itu, pilihan yang ada mau tidak mau adalah membangun birokrasi dan sistem yang kokoh, sehingga dapat meminimalisir intervensi dari agenda politik partai pada mesin birokrasi. Bahkan di negara-negara parlementer sekalipun dimana jabatan menteri sebagai jabatan politis, frekuensi pergantian menteri yang cukup tinggi tidaklah terlalu berpengaruh pada berjalannya mesin birokrasi karena kekokohan dari sistem birokrasi di tingkat departemen.
Reformasi birokrasi juga akan terkait dengan penataan sistem kepartaian. Pelarangan rangkap jabatan menteri dan pengurus partai mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan. Pejabat birokrasi yang ikut mengurusi partai politik jelas hanya akan menjadi beban dari birokrasi. Mustahil seorang pemimpin partai dapat fokus dalam menjalankan tugas-tugas kementrian tanpa terpengaruh oleh pernak-pernih masalah organisasi partai. Sulit juga membayangkan bahwa organisasi internal partai dapat dibangun secara paruh waktu. Menimbang kompleksitas problem yang ada di setiap partai, hanyalah seorang politisi yang bekerja dalam tingkat konsentrasi yang maksimal yang selayaknya menjadi pemimpin partai. Larangan rangkap jabatan juga akan meminimalisir terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda, karena seringkali kalkulasi politis kepentingan partai masing-masing lebih dominan ketimbang agenda politik Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selama ini tidak ada aturan yang tegas dan jelas melarang perangkapan jabatan partai dan kementrian. Singkat kata, larangan perangkapan jabatan tidak saja diperlukan dalam konteks pembenahan birokrasi, tetapi juga krusial bagi proses peneguhan sistem presidensil.
Presiden sebagai kepala pemerintahan harus memimpin sendiri reformasi birokrasi secara substantif. Presiden harus berani mengambil langkah-langkah strategis yang tidak populer tetapi secara jangka panjang amatlah penting. Henry Kissinger, menteri luar negeri Amerika paling legendaris mengatakan bahwa tugas para politisi dan birokrat adalah membangun sistem yang dapat secara efektif menghadapi berbagai masalah dengan prosedur standar yang relevan dan solutif.
Sebelum tanggal 21 Mei 1998, makna reformasi jelas dan sederhana: turunkan Presiden Soeharto. Bukan hanya mahasiswa yang bersatu berjuang untuk makna reformasi itu, tetapi mereka didukung oleh hampir semua suku, agama, ideologi dan ras di Indonesia. Lebih dari itu, mereka didukung oleh pasar global, pemerintah-pemerintah negara lain dan akhirnya oleh Golkar sendiri, bersama pengkhianat Harmoko. Luar biasa dan semacam mujizat dari Tuhan bahwa kesatuan seluruh dunia terjadi supaya Presiden Soeharto bisa turun tanpa pertumpahan darah yang lebih besar. Ciri khas dari gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan Soeharto adalah tujuan dan caranya (ends and means), sama dan sederhana. Yang harus dilakukan (caranya) adalah turunkan Soeharto supaya tujuannya (Soeharto turun) tercapai.
Sekarang, sudah empat bulan, makna reformasi menjadi sangat kompleks. Tujuan dan cara tidak lagi sama dan belum ada kesepakatan, baik tentang tujuan maupun cara mencapainya. Bukan hanya oleh karena perbedaan di antara yang menekankan reformasi ekonomi dengan yang mengutamakan reformasi politik. Mungkin saja semua bisa setuju dengan reformasi yang ingin menghasilkan negara yang adil (secara politik) dan makmur (secara ekonomi). Tetapi kesepakatan itu semu. Semua pemimpin Indonesia dan juga di seluruh dunia akan setuju dengan reformasi yang indah itu. Tetapi bentuk dan struktur negara yang bagaimanakah bisa disebut adil dan ekonomi macam apa bisa disebut makmur?
1) Apa arti dan makna reformasi yang diharapkan?
Reformasi adalah era baru dari perjalanan bangsa Indonesia, sebuah jalan menuju cita-cita awal pejuang 45 yang terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Kehadiran era ini, muncul dari keresahan masyarakat atas penyimpangan-penyimpangan yang mencedari tujuan awal terbentuknya NKRI. Sebuah keniscayaan dari keinginan luhur untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang berdaulat, adil dan makmur.
Gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim Suharto tidak lahir begitu saja, ia hanya puncak dari kekesalan yang setiap hari terus berkembang biak. Hingga pada akhirnya muncullah gerakan besar yang dapat meruhtuhkan kekuasaan Suharto, di mana sebelumnya ia ditakuti oleh masyarakat, karena setiap ada aksi protes atas kebijakannya langsung ditangkap dan kadang tak urung kembali pada keluarganya.
Saat ini, kita sudah berada ditahun ke 14 pasca reformasi, namun belum ada sinyal-sinyal positif yang menunjukkan kesejahteraan masa depan bangsa Indonesia, malah kita dapat menyaksikan sekian banyaknya persoalan bangsa yang tak kunjung terselesaikan. Lantas dimana komitmen pemerintah? Apakah masih menunggu gerakan reformasi kedua untuk menumbangkan rezim yang berkuasa dan kembali membangun puing-puing cita-cita para pejuang, demi Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.
2) Apa yang harus kita perbuat dalam membangun bangsa dan Negara menuju tujuan nasional?
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali.
Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan.
Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa Indonesia.
Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia.
terdapat beberapa prinsip yang juga harus kita hayati serta kita pahami lalu kita amalkan.
Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita mengakui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b. Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita mengagung-agungkan bangsa kita sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti bahwa kita merasa lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak ingin memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain, sebab pandangan semacam ini hanya mencelakakan kita. Selain tidak realistis, sikap seperti itu juga bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memiliki kebebasan dan tanggung jawab tertentu terhadap dirinya, terhadap sesamanya dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.
d. Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan dalam kerangka kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan wawasan itu manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.
e. Prinsip Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-cita Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia kita harus dapat mengisi kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur.
3) Dalam mengeluarkan pendapat apakah batas-batas yang harus dijaga, supaya tidak mengganggu stabilitas nasional.
Legislasi atas kebebasan mengemukakan pendapat diprakarsai oleh Anders Chydenius di kerajaan Swedia. Sekarang hak untuk mengajukan pendapat, telah dijamin dalam hukum Internasional, terutama pasal 19 yang berisi hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat.
Dalam hukum Internasional, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, dibutuhkan tiga batasan, yakni :
- Sesuai dengan hukum yang berlaku
- Punya tujuan baik yang diakui masyarakat
- Keberhasilan dan suatu tujuan sangat diperlukan
Menurut John Stuartmill, untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai hak dasar adalah ”Sangat Penting Untuk Menemukan Esensi Adanya Suatu Kebenaran”.
Kesetaraan martabat dan hak politik mengidentifikasi tentang kesamaan hak politik dari setiap warga negara, termasuk hak mendapatkan akses untuk informasi politik serta kebebasan mendiskusikan dan mengkritik figure public. Dalam negara demokrasi, selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus bertanggung jawab dan responsive terhadap aspirasi rakyat. Di Indonesia sendiri hak ini telah dicantumkan dalam pasal 28 ayat 28E ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berisi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Sebagai contohnya adalah : Tahun 1998 di saat awal mula tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto, terjadi peristiwa dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa dan turun ke ruas jalan raya di kota Jakarta.
Pembatasan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat khususnya di media berbasis IT memang menjadi satu ganjalan, bahwa seakan-akan masyarakat tidak dibenarkan menyampaikan kritikan dan sumbang saran yang nyata-nyata akan memojokkan pihak tertentu, padahal jika kita mengkaji lebih jauh bahwa peran masyarakat sebagai social controle sangat penting sebagai sebuah indikator berhasil atau tidaknya pembangunan dan kualitas pembangunan yang dilakukan pemerintah, jadi kita berharap sekiranya ini tidak menjadi penghalang bagi setiap warga untuk dapat menyatakan pendapat dan buah pemikiran mereka, tetaplah pada koridor yang benar bahwa tujuan kita menyampaikan informasi yang sebenarnya untuk kepentingan bersama.
Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini, bukan kali pertama terjadi dalam sejarah bangsa kita. Dari rezim ke rezim, Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB, pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Rezim yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.
Sejarah pemerintahan Indonesia menjadi gambaran yang cukup kongkrit betapa kebebasan berpendapat di Indonesia dari rezim ke rezim menjadi perjuangan yang belum sepenuhnya menyuarakan semangat demokrasi. Masa orde lama dan orde baru, karena pada masa itu keberadaan media hanya terbatas pada media cetak dan media penyiaran, maka pemerintah memberikan kekangan yang cukup ketat untuk dua media ini.
Merujuk pada aturan yang lebih universal. Secara luas, dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang disuarakan dalam piagam PBB ini mengandung arti bahwa setiap orang bisa mengutarakan pendapat dan ekspresinya dalam bentuk apapun dan melalui media apapun. Sebagai pembatas agar kebebasan ini tidak kebablasan, secara lebih lanjut piagam PBB mengemukakannya dalam Pasal 29 yang menyatakan :
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of this personality possible
(2) In the exercise of the rights and freedom, everyone shall be subject to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order, and the walfare in democratic society
Dari sini dapat dilihat bahwa yang akan menjadi batasan atas kebebasan berpendapat ini adalah undang-undang setempat, jiwa, masyarakat, ketertiban sosial dan politik masyarakat demokratis. Undang-undang, ketertiban sosial, dan politik sebagaimana tertulis dalam piagam PBB ini memang menjadi pembatas yang dalam pengelolaan kebebasan berpendapat. Namun demikian, bukan berarti undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam suatu negara akan menjadi pengekang. Undang-undang akan menjadi koridor pembatas saja agar kebebasan pendapat yang diperjuangkan tidak kebablasan.
Melihat dari berbagai pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan merupakan hak semua orang. Setiap individu yang hidup dalam suatu negara hukum, mempunyai kebebasan yang sama dalam berpendapat. Hanya saja ketika diterapkan dalam setiap media, kebebasan berpendapat ini akan mempunyai implikasi yang berbeda, tergantung sifat medianya. Namun, bukan berarti hal ini akan menjadi alasan untuk mengekang kebebasan berpendapat dalam masyarakat.
4) Factor-faktor apakah yang mendorong terjadinya gejolak seperti sekang ini?
Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami perubahan yang cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri eksistensi rezim Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan perubahan-perubahan tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak untuk memajukan (kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem pemerintahan. Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami dinamika dan perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi pemerintahan itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan sistem republik federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak asing untuk menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia memberlakukan sistem politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer. Sistem ini terbukti juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan pertentangan antarfaksi di parlemen.
Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi marhaen, PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi sosial-komunis, dan Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan tersebut semakin diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan diri sebagai dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin dengan jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45, Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) berkuasa sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.
Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang ketat di satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi, tindakan Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Doktrin P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus mengalami perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang menolak. PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan akhirnya menjadi organisasi bawah tanah.
Penangkapan aktivis terjadi di mana-mana, mulai dari Tanjung Priok sampai Talangsari Lampung. AM Fatwa, Wakil Ketua MPR-RI sekarang adalah satu dari aktivis yang ditangkap akibat sikap represif aparat orde baru. Dalam audiensi pimpinan MPR-RI dengan mahasiswa
5) Bagaimana pendapat anda kebebasan berbicara yang terjadi akhi-akhir ini dari sudut pandang etika. Dan bagaimana semestinya?
Bila kita Mengikuti Perjalanan Pasal 28 UUD 1945 , secara tidak langsung kita telah mengikuti pasang dan surutnya yang sejalan dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Tidak ada salahnya bila kita sebagai warga Negara Indonesia mengikuti perjalanan Pasal 28 UUD 1945 tersebut serta dari mana sebenarnya bermula. Pasal 28 ini merupakan dari ide cemerlang Bung Hatta dengan Konsep aslinya berbunyi, " Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam Undang-Undang.". Adapun Pasal 28 yang merupakan pasal asli UUD 1945 dan tetap dipertahankan, sebagai sebuah pasal dalam UUD setelah perubahan berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Dari rumusan tersebut yang berkaitan dengan kebebasan berbicara adalah bagian kalimat yang berbunyi, “mengeluarkan pikiran dengan lisan. Di dalam UUD 1945 dalam pasal 28E juga menerangkan seperti berikut “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. “
Presiden kedua RI Soeharto dengan rezimnya berhasil dijatuhkan, maka Pasal 28 UUD 1945 secara langsung kembali dihidupkan. Pasal 28 tersebut berbunyi, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya diatur dengan undang-undang". Hal itu jelas melahirkan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta tentu saja Kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Hak ini jelas menerangkan berbicara dan mengeluarkan pendapat yang melekat di setiap masyarakat Indonesia tanpa memandang agama,ras dan kesukuan. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. seperti artikel, tulisan, buku, diskusi, dan berbagai media lainnya. Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat semakin dihormati.
Dalam bahasa Inggris, kebebasan berbicara disebut sebagai free speech. Kebebasan berbicara merupakan salah satu dari hak asasi manusia (human rights). Hak ini telah diakui sebagai hak konstitusi oleh banyak Negara yang dicantumkan dalam konstitusi Negara yang bersangkutan. Kalau penulis boleh sedikit mengambil contoh pada negara lain tentang jaminan HAM ( tentang hak bicara ) misal, Pada tahun 1789 di Negara perancis telah di akui dan dicantumkan dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia,yaitu kebebasan berbicara, semantara Konstitusi Amerika mencantumkan hak berbicara ini dalam Amendemen Pertama 1791 yang menyatakan bahwa; ”Konggres dilarang membuat hukum (undang-undang) yang mencabut kebebasan berbicara atau kebebsan pers". Begitupun di rebublik ini , kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hak konstitusional dan hak asasi manusia diatur dan dijamin dalam UUD’45 dan berbagai hukum HAM internasional dan nasional. Dari beberapa kutipan pencantuman hak berbicara dalam sumber hukum yang tertinggi di ketiga negara tersebut dapatlah diketahui betapa hak-hak ini dipandang sangat perlu bagi seluruh manusia. Karena Hal ini menyangkut kebebasan yang terkait dengan hakekat yang melekat pada diri manausia, yaitu sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat yang secara langsung akan melakukan komunikasi antara satu dengan yang lain.
namun berbicara mengenai Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat. Hal ini merupakan hak yang mahal harganya di Indonesia, banyak rambu-rambu hukum dan pengelompokan sosial yang membatasi kebebasan ini. Sistem pendidikan rasanya kurang menumbuhkan cara berpikir yang mendukung hak ini, sejak SD sampai Universitas. Hak ini sebenarnya perlu didukung oleh pendidikan, yang pada akhirnya akan membentuk pola pikir dan kepribadian yang bisa menghargai manusia dengan perbedaan-perbedaannya. Dalam sistem kenegaraanpun , kemerdekaan berbicara menjadi sebuah tiang penyangga pelaksanaan asas pemerintahan negara hukum demokrasi. Dengan adanya kebebasan berbicara maka akan terjadi kompetisi pendapat dalam wacana publik tentang gagasan-gagasan yang diajukan yang nantinya akan dipilih oleh masyarakat banyak. Oleh sebab itulah kebebasan berbicara ini kemudian meliputi pula kebebasan yang lain seperti kebebasan pers serta penyiaran. Kebebasan pers dan penyiaran dimaksudkan salah satunya adalah lebih kepada menjaga pluralisme pendapat dalam kehidupan bernegara khususnya politik yang menjadi prasyarat dasar bagi demokrasi.
Sumber :
• http://www.facebook.com/topic.php?uid=59888391542&topic=16448
• http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/08/15/76911/Memperbaiki-Nasib-Bangsa
• http://politik.kompasiana.com/2011/02/03/merpertanyakan-makna-reformasi/
• //salman-arif.blogspot.com/2010/04/wawasan-nusantara.html
• ://ribkhaivanapakpahan.blogspot.com/2009/10/kebebasan-mengeluarkan-pendapat-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar